Sosok almarhum KH Slamet Effendy Yusuf sebagai pemersatu umat, kerap diwujudkannya kala menyuarakan pentingnya toleransi beragama di tiap kesempatan. Bagi LDII, ia berkontribusi menjembatani dengan MUI sekaligus memasyarakatkan ekonomi syariah.
KH Slamet Effendy Yusuf kini telah meninggal Rabu (2/12) lalu sekitar pukul 23.00 di Bandung, Jawa Barat dalam usia 67 tahun. Saat meninggal, ia mengemban amanah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2010-2015. Warga LDII kehilangan satu sahabat yang telah membantu beragam aktivitas dakwah untuk masyarakat.
Ketua DPP LDII Prasetyo Soenaryo mengenang KH Slamet Effendy Yusuf sebagai kyai yang dekat dengan politik. KH Slamet Effendy Yusuf pernah menjadi kader sekaligus pengurus DPP Golkar. Puncak karir politiknya saat menjadi Ketua MPR dan anggota DPR dari Partai Golkar.
“Saya mengenalnya saat dulu sama-sama di Golkar. Dan hubungan kami secara pribadi sudah sangat baik,” ujar Prasetyo.
Sejak kecil, Slamet Effendy Yusuf dibesarkan dalam lingkungan santri. Ini membuatnya lekat dengan permasalahan umat. Bakat organisasinya menonjol sejak bersekolah di Madrasah Mualimin Al-Hidayah. Ia pun aktif dalam Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU).
Saat kuliah, ia aktif dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga. Begitu lulus kuliah, dalam waktu singkat Slamet Effendy Yusuf diterima dalam Gerakan Pemuda(GP) Ansor, Organisasi Pemuda Nahdlatul Ulama, bahkan sempat memimpin selama dua periode. Belum lama ini almarhum juga dipercaya sebagai Dewan Pembina Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI).
Pada 1972, ia dipilih menjadi Ketua Cabang PMII Jogja. Di dalam organisasi itu, ia membuat gebrakan dengan memperjuangkan PMII menjadi organisasi yang independen, dari struktur Partai NU sebagaimana dirumuskannya dalam Deklarasi Murnajati.
Sejak di bangku SR hingga kuliah, selain aktif dalam organisasi, Slamet Effendy Yusuf juga seorang wartawan dan penulis yang handal. Saat sekolah di Madrasah ia mendirikan majalah Nur Al Hidayah. Karya jurnaslitik dan opininya kerap dimuat dalam beberapa suratkabar yang terbit di Yogyakarta maupun di Jakarta. Bahkan ia sempat menjadi penyiar radio mahasiswa.
Pada 1989, Slamet Effendy Yusuf membangun karir jurnalistiknya di Harian Pelita. Bersama Suhardibroto, Panda Nababan, Sutradara Ginting, dan Lukman Umar, ia menerbitkan majalah Forum Keadilan yang mengulas tentang hukum dan keadilan. Di sana ia sempat menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Wakil Pemimpin Umum.
Dari tangannya pula lahirlah Warta NU, sebuah media untuk kalangan NU. Ia juga sempat menjadi redaktur majalah Risalah Islamiyah, Risalah NU, Jurnal Kebudayaan dan Jurnal Pendidikan.
Selain jurnalistik, ia juga berkarir di politik. Ia pernah menjadi Ketua Departemen Pemuda DPP Golkar periode 1988-1993, yang mengantarkannya menjadi anggota MPR-RI periode 1988-1993 serta sebagai anggota DPR-RI pada periode 1992-2009.
Setelah reformasi bergulir, dalam paradigma baru Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung ia menjadi Ketua DPP Partai Golkar dan Ketua Pelaksana Harian Panitia Konvensi Partai Golkar.
Menurut Prasetyo Sunaryo, Slamet Effendy Yusuf termasuk salah satu ulama yang perhatian terhadap persatuan dan kesatuan umat. Ia seorang yang aktif mengokohkan ukhuwah Islamiyah. Slamet Effendy Yusuf pernah menuturkan bahwa umat Islam itu ibarat mengangkat sebuah meja berat yang berisi segala permasalahan umat dalam dinamika zaman.
“Bila ia hanya menyalahkan orang lain, mengkafirkan orang lain, itu sama halnya ia menolak kehadiran sesama umat Islam untuk mengangkat meja yang berat itu. Dan mereka ini tak akan pernah berhasil,” ujar Slamet Effendy Yusuf suatu ketika.

Perhatiannya yang besar terhadap ekonomi syariah, membuatnya dengan tangan terbuka menerima tawaran LDII menjadi Ketua Panitia Pengarah ASEAN Small Medium Entepreneur (SME) Partnership, sebuah konvensi UMKM se-Asia Tenggara yang diprakarsai LDII pada awal November lalu. Kehadirannya dalam kepanitiaan melempangkan jalan sponsor dan Kementerian Luar Negeri mendukung acara ini.
“Kyai Slamet Effendy Yusuf menjadi simbol SME Partnership adalah milik lintas agama. Ia juga mendorong agar warga LDII diterima menjadi pengurus MUI di tingkat pusat hingga di kabupaten-kabupaten. Ia merupakan tokoh pemersatu di dalam kemajemukan bangsa,” ujar Prasetyo.
Menurut Prasetyo, warga LDII sangat kehilangan sosok KH Slamet Effendy Yusuf yang sangat peduli persatuan dan kesatuan umat Islam sekaligus peduli ekonomi umat. Umat yang mandiri, akan mampu mewujudkan keadilan sosial, yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia tanpa memandang perbedaan agama.