Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Gresik melaksanakan Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 tahun 2006, terkait Pendirian Rumah Ibadah. Sosialisasi dilaksanakan di Balai Kecamatan Driyorejo, Kamis (24/11).
Dalam pembukaannya Camat Driyorejo Sunarto menjelaskan, Indonesia merupakan negara multikultural dengan berbagai keragaman seperti suku, ras, bahasa, dan agama.
“Keberagaman ini merupakan aset bangsa Indonesia yang harus dijaga dan dirawat bersama,” ujar Sunarto.
Ia menegaskan keberagaman dalam beragama merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari. Sehingga, setiap umat beragama mempunyai kewajiban untuk mengakui sekaligus menghormati agama lain tanpa membeda-bedakan.
“Kecamatan Driyorejo sampai saat ini kondisinya sangat kondusif, kerukunan umat beragama masih terjaga dengan baik. Hubungan antar umat juga harmonis, dan memang hal seperti ini harus terus ditingkatkan. Apalagi di Kota Baru Driyorejo bagaikan miniatur Indonesia, yang warganya sangat beragam. Karena rata-rata penduduk asli Driyorejo yang datang dari hampir segala ras atau penjuru Indonesia,” ujarnya.
Sunarto juga menyampaikan pentingnya menerapkan prinsip-prinsip kemerdekaan dan kebebasan untuk menumbuhkan sikap toleransi. Agar tercipta saling menghormati antar pemeluk agama yang berbeda dengan latar belakang sosial-budaya yang berbeda pula. Sehingga bisa mewujudkan kerukunan antar umat beragama.
“Dengan latar belakang keagamaan yang beragam ini, diharapkan bahwa masyarakat Driyorejo bisa tetap menjaga kerukunan,” tegasnya.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Nanang Setiawan menekankan bahwa untuk menjaga kerukunan umat beragama harus didasari dengan regulasi yang jelas. Tentunya harus mengacu pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (PBM).
“Regulasi tidak membatasi umat untuk beribadah di berbagai tempat ibadah, tapi ada pengaturan untuk pelaksanaan ibadah di rumah ibadah,” ujarnya.
Dalam PBM itu juga diatur pemanfaatan bangunan gedung ataupun pendirian rumah ibadah, dan harus mendapatkan surat keterangan pemberian izn dari bupati/wali kota. Selain itu harus memenuhi persyaratan layak fungsi dan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban masyarakat.
“Jadi regulasinya sudah ada dan jelas, tidak menghambat namun tidak juga semaunya. Saya himbau kepada semua pihak, untuk menjadikannya sebagai pedoman sehingga potensi perselisihan dalam pelaksanaan ibadah seluruh umat bisa dihindari, sebagaimana yang telah berlangsung baik di banyak tempat selama ini,” ungkapnya.
Apabila terjadi perselisihan terkait pelaksanaan ibadah, ada mekanisme penyelesainnya. “Jika terjadi perselisihan, maka harus diselesaikan berdasarkan musyawarah atau melalui jalur hukum. Aparat Kementerian Agama di daerah, akan membantu menjembataninya,” tandasnya.
Sementara iyu, pemateri pertama KH. Yarkhan menjelaskan, pendirian rumah ibadah itu harus memenuhi syarat-syarat administrasi dan juga syarat-syarat khusus yang telah tertulis di PBM.
Berdasarkan PBM Nomor 9 dan 8, mengatur bahwa rumah ibadah itu adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadah bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen.
Selain itu, rumah ibadah juga terkait tata kota, tata ruang, IMB, dan juga dari sisi sosial. Karena kalau konsepnya rumah ibadah, maka bangunan khusus sebagai tempat akomodasi ritual keagamaan agama tertentu.
“Kalau sudah bicara rumah ibadah, maka hal itu sudah permanen, spesifik, memiliki syarat tertentu sebagaimana lazimnya rumah ibadah setiap agama,” terangnya.
Persyaratan administrasi pendirian rumah ibadah yang diatur dalam PBM ialah mengajukan permohonan izin tertulis pemilik bangunan yang nantinya akan mendapat rekomendasi tertulis dari lurah/kepala desa, pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota, dan pelaporan tertulis kepada Kepala Kantor Departemen Agama kabupaten/kota.
Selain itu, persyaratan khusus ialah daftar nama dan kartu tanda penduduk (KTP) paling sedikit 90 orang. Dan juga mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitar sedikitnya 60 orang, yang direkomendasikan ke kepala desa. Dan di luar itu, juga harus memenuhi pasal 13 UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yaitu terjaminnya keamanan, kerukukan dan ketertiban masyarakat setempat.
Pemateri kedua, Ketua DPD LDII Gresik KH. Abdul Muiz Zuhri sekaligus sebagai anggota FKUB menjelaskan tentang pentingnya menjaga kerukunan umat beragama.
“Setiap warga negara diberikan hak dan kebebasan untuk melaksanakan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Seperti yang dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 bahwa, Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing,” tuturnya.
Menurutnya, pendirian rumah ibadah harus sesuai dengan peraturan yang ada. Karena itu bentuk keadilan pemerintah kepada masyarakat.
“Akhir-akhir ini banyak kasus mengenai pendirian rumah ibadah yang tersebar di seluruh Indonesia dan hampir rata korbannya. Bukan hanya non muslim, tapi juga muslim. Ini terkait mayoritarianisme. Artinya dimana ada satu agama yang menjadi mayoritas, kemudian penduduknya menekan atau memaksa agama yang minoritas untuk tunduk,” ungkapnya.
Menurut Muis, hadirnya pemerintah dalam rangka tetap menjaga kerukunan dengan membuat Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) bukan berarti kaum minoritas dipersulit.
“Akan tetapi FKUB dalam menjaga kerukunan umat beragama ingin memastikan pendirian rumah ibadah itu, bisa dimanfaatkan dengan betul-betul mendekatkan diri kepada yang maha kuasa, dengan nyaman dan aman,” imbuhnya.
Melalui kekuatan Bhineka Tunggal Ika, masyarakat harus bisa duduk sejajar, saling menghargai, dan menghormati. Sehingga dengan hal itu terjadilah toleransi umat beragama karena masing-masing saling memahami dan saling mengerti. (Rizky/Lines)