Sering terdengar celotehan bahwa nasi asal beras Vietnam atau India, rasanya lebih ”punel” dibandingkan beras Indonesia maka belilah beras dari sana. Durian Bangkok lebih lezat daripada durian lokal, atau jeruk Mandarin lebih manis daripada jeruk Pontianak, maka konsumsilah buah-buahan import tersebut. Sedangkan, kopi Toraja, kopi Kintamani, atau kopi Sidikalang jadikan komoditas eksport, karena kualitas seduhan kopinya banyak disukai di manca negara. Kalimat panjang diatas, dari sudut potensi tanaman dan dari segi bisnis ada benarnya. Namun, sebelum melangkah lebih jauh perihal tanaman dan bisnisnya, ada baiknya, kita tengok pembagian bumi menurut koordinat lintang dan iklimnya, yang terbagi menjadi 4 (empat) yaitu : iklim tropis, sub-tropis, sedang, dan iklim dingin; dua iklim pertama yang akan dibahas.
Indonesia, memiliki iklim tropis, lebih spesifik lagi terletak di daerah equator dilalui garis imajiner katulistiwa, terletak antara 0° – 23½° LU/LS, sinar matahari dominan vertikal sepanjang waktu, musim hujan dan kemaraunya tegas, suhu udara antara 20°- 32°C, di beberapa wilayah, suhunya rata-rata mencapai 30°C. Pertaniannya, karena teriknya sinar matahari cenderung maksimal disaat tertentu, di siang hari, fotosintesa tanaman berlangsung cepat, daun tanaman layu, dan terjadinya konsisten selama pertumbuhan, menyebabkan buah atau organ lainnya lebih awal dipanen. Dampaknya, apabila budidaya tanaman tidak tepat maka menyebabkan kualitas produk tidak sesuai selera, warna kurang menarik, bentuk menyimpang, dan beberapa sifat lain tidak disukai konsumen.
Jalan keluar, disamping intensifikasi dan irigasi berkelanjutan, alternatifnya adalah bercocok tanam di dataran lebih tinggi; meskipun panjang penyinaraan mataharinya tetap namun setiap meningkat 100 meter diperkirakan temperatur turun 1°C. Berkurangnya suhu di dataran tinggi berdampak positif terhadap aktivitas khloropil daun dan fotosintesa tanaman, panenan akan sesuai dengan pola umur tanaman. Sebagai ilustrasi, padi pegunungan lebih lama umurnya untuk dipanen, menyebabkan rasa nasinya lebih enak dibandingkan varitas sama yang ditanam di daerah rendah, durian atau kelengkeng dataran tinggi lebih lezat rasanya, demikian pula kopi atau tanaman lainnya. Sebenarnya pemerintah kolonial Belanda telah memetakan kesesuaian lahan bagi keperuntukan tanaman yang bernilai ekonomis tinggi di negara kita ini, namun kenyataannya tatanan tersebut sekarang memudar hampir hilang.
Saatnya kita tengok negara-negara yang memilik iklim sub-tropis (diantaranya sebagian wilayah Vietnam dan China) ciri-cirinya antara lain, terletak antara 23½° – 40°LU/LS, batas iklim yang tegas tidak dapat ditentukan, merupakan daerah peralihan iklim tropis ke iklim sedang. Negara di wilayah ini memiliki empat musim, yaitu musim panas, dingin, gugur, dan semi; musim dinginnya tidak terlalu dingin, begitu pula dengan musim panasnya tidak terlalu panas. Produk tanamannya akan berkesesuaian dengan genetis tanamannya; potensi berbuah lezat, manis, menyegarkan akan terealisir ketika dipanen. Hal tersebut terjadi, disamping karena adanya dukungan iklim yang cocok sepanjang waktu, juga karena adanya peran dan dukungan nyata pemerintahan terhadap program pertanian setempat.
Pertanian Indonesia Masa Lampau
Areal pertanian dan perkebunan tertata berwawasan keperuntukannya, mulai dilaksanakan di bumi pertiwi ini, sejak zaman kolonial. Pemetaan dan pemilihan areal pertanaman dimulai sekitar awal tahun 1900-an. Berarti, pemerintah kolonial telah menetapkan wilayah pertanian dan perkebunan secara tegas dan cermat agar tanaman tumbuh normal serta berproduksi maksimal. Sebagai contoh, agar produksi maksimal, tanaman tebu dan padi harus beririgasi, arealnya di dataran rendah, dan kedua tanaman tersebut ditanam terpisah. Demikian pula tanaman pokok, seperti jagung dan kedelai, arealnya di luar kawasan irigasi. Sebaliknya, tanaman perkebunan, misalnya kopi, teh atau kakao, juga tanaman buah-buahan tertentu, pemilihan lahannya dilakukan spesifik, di dataran agak tinggi sampai tinggi.
Mungkin kita berpikir, ketika di Kintamani, di Toraja atau di Cipanas, setelah menikmati sejuknya hawa pegunungan sambil meneguk secangkir kopi panas, hot chocolate atau teh manis, bagaimana daerah dengan ketinggian ≥1.000 m diatas permukaan laut tersebut, bisa menjadi kebun seluas ribuan hektar, padahal saat itu teknologi permesinan belum semaju sekarang. Itu semua tidak lain hanyalah untuk memenuhi kesusaian lahan bagi tanaman. Meskipun harus berjalan kaki atau berkendaraan kuda untuk menemukan daerah yang sebelumnya hutan belantara tersebut, tetapi tetap prioritas kesesuaian lahan ditetapkan lebih awal sebelum bercocok tanam dilaksanakan, dan itupun tetap harus memiliki kawasan penyangga berupa hutan lindung, serta yang terpenting wilayah dan semuanya ditetapkan secara cermat sebelum dilakukan penanaman secara massal. Sekali lagi perlu digarisbawahi, Indonesia terletak di katulistiwa, menyebabkan hampir semua tumbuhan saat puncak proses fotosintesa berlangsung daun tanaman justru mengalami pelayuan, akibat teriknya matahari, dan ini berdampak menurunnya kualitas dan produksi tanaman.
Namun, pemerintah kolonial waktu itu, tidak kehilangan akal, masih mampu memilih dataran tinggi untuk mengeliminir problem terik, tingginya suhu matahari tersebut, disamping membangun dan merawat saluran irigasi dan waduk, serta tetap melestarikan hutan lindung.
Pertanian Indonesia Saat Ini
Tereksploitasi dengan produk kimiawi, budidaya mono-kultur mendominasi, kawasan hutan lindung dijarah, saluran irigasi dan waduk carut marut, sebagian kawasan hijaun beralih fungsi menjadi hunian dan industri, banjir kerap terjadi di areal pangan. Ironis memang, warisan pola pertanian yang sudah terkelola baik, tak terelakkan dirusak karena azas kepentingan, sebagian diubah fungsinya untuk pemuas industri, memuaskan pebisnis perumahan, intinya disalahgunakan keperuntukannya. Akhirnya, kita mengutamakan import bahan pokok, buah-buahan dan bahan pemuas perut lainnya, karena lahan pertanian dan perkebunan telah terdegradasi secara tidak terkonsep.
Optimisme pemetaan ulang intensifikasi atau ekstentifikasi harus tetap ada, tidak ada kata terlambat, perlahan tapi pasti perlu revolusi mental di bidang pertanian, negara ini pernah bisa, sudah saatnya kita kembali bisa, batasi konsumsi import, dan harus yakin masih ada kesempatan berswasembada pangan dan buah-buahan.
Penulis: Ir. H. Arief Iswanto, MSc