Surabaya—Mantan Rais Aam dan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) DR. KH Ahmad Mustofa Bisri atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Mus mengatakan, ada beberapa ciri-ciri Kiai, terutama Kiai pesantren yang masih teguh memegang kultur dari Rasulullah dan para penerus atau pengikutnya. Hal ini diungkapkan Gus Mus dalam launching Institute of Nusantara Studies (INNUS) di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Rabu (18/11/2015).
Gus Mus menjelaskan bahwa ciri pertama Kiai adalah ilmunya dapat dipertanggungjawabkan mulai dari dunia ilaa yaumil qiyamah, maksudnya ketika seorang Kiai menjelaskan ajaran atau ilmu Alquran dan Alhadits dari Rasulullah maka dapat dijelaskan dan dipertanggungjawabkan darimana ilmunya diperoleh dan siapa gurunya sampai Rasulullah.
Kedua, seorang Kiai akan mempertanyakan kepada muridnya ketika murid tersebut meminta ijazah. Artinya, ketika murid tersebut menerima ijazah dari sang guru, apakah murid tersebut mau melaksanakan beban dari ijazah tersebut, yakni mengamalkan kandungan yang terdapat dalam ilmu tersebut. Kalau murid sanggup, maka guru akan mengajarkannya meskipun si murid hanya satu orang.
Ketiga, seorang Kiai sangat menyayangi dan mencintai umat, terutama yang lemah. Ketika seorang Kiai melihat orang yang bodoh maka diajari bukan ditempeleng, ketika seorang Kiai melihat orang yang sesat maka ditunjukkan bukan ditonyol-tonyol, ketika seorang Kiai melihat orang yang tidak punya modal maka diberi modal, dan ketika seorang Kiai melihat orang yang tidak punya menantu maka dicarikan menantu dan seterusnya. Jika rakyat dan penguasa berkelahi, maka seorang Kiai akan berada pada pihak yang lemah.
Keempat, seorang Kiai mempunyai ruh dakwah yang sangat besar. Ruh dakwah yang besar ini diperoleh dari guru-guru dan para pendahulunya sampai pada Rasulullah. Seorang Kiai harus dapat membedakan antara dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar serta menerapkannya secara bijaksana.
Kelima, apa yang ditempuh seorang Kiai berdasarkan rasa ikhlas. Seorang Kiai dalam berdakwah yang kemudian ketika berbicara maka didengarkan dan diikuti orang, selalu melandaskan perbuatannya dengan rasa yang tulus dan ikhlas.
Gus Mus menambahkan, riset dakwah mengenai penyebar Islam perlu dilakukan lebih intensif dan diperbanyak mengingat begitu banyak inspirasi dan inovasi dakwah yang terbukti efektif di masyarakat. Hal ini dinilai penting karena saat ini semakin tumbuh subur benih radikalisme di berbagai daerah yang memilih jalan dakwah melalui kekerasan.
Menurutnya, nilai-nilai yang dicontohkan para pendakwah terdahulu melalui jalan kultural dengan menekankan aspek kemanusiaan tanpa meninggalkan ajaran luhur agama sangat perlu diaktualisasikan. Gus Mus kemudian mencontohkan pendekatan yang dilakukan Sunan Kudus yang menempatkan nilai toleransi budaya di garda terdepan.
Gus Mus yang hingga kini mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang,Jawa Tengah, mengingatkan selain dituntut memiliki ilmu yang luas, seorang pendakwah dan intelektual muslim idealnya mampu mengimplementasikan pesan dakwah yang telah disampaikan pada masyarakat. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW dan kekuatan dakwahnya justru terletak pada kemampuan memberi teladan.
Alumnus Al Azhar University, Kairo Mesir ini juga memberi contoh ibarat dalam bahasa jawa yang dikutip dari Sunan Drajad, yakni wenehono teken marang wong kang wuto (berikanlah tongkat kepada orang yang buta), wenehono mangan marang wong kang luwe (berikanlah makan kepada orang yang lapar), wenehono busono marang wong kang mudo (berikanlah pakaian kepada orang yang telanjang), dan wenehono ngiyup marang wong kang kodanan (berikanlah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan)
Dalam acara tersebut LDII diwakili oleh H. Imam Pujiarto, S.Sos, MSi selaku Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (DPD LDII) Kota Surabaya. (IP/DPDSBY)