Peringatan Hari Kesaktian Pancasila tiap 1 Oktober identik dengan Gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Gerakan tersebut menculik dan membunuh tujuh jenderal TNI AD serta beberapa korban lainnya pada 30 September 1965. Tujuannya ingin mengganti ideologi Pancasila dengan komunis.
“Peristiwa ini tercatat sebagai sejarah kelam Indonesia modern. Komunisme tidak lagi terlihat, tetapi sebagai ideologi ia tidak terlihat. Jadi negara ini harus tetap waspada,” kata Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso.
Kondisi terkini, tambah Chriswanto, bukan hanya komunisme yang menjadi bahaya laten bagi Pancasila. Paham lain seperti liberalisme maupun gerakan fundamentalisme berbasis agama pun bisa membahayakan ideologi bangsa ini. “Akibatnya, Pancasila memang masih jadi dasar negara, namun prilaku pejabat publik dan rakyatnya tak lagi Pancasilais,” ujar Chriswanto.
Chriswanto mencontohkan, liberalisme di satu sisi memang memiliki banyak hal positif. Misalnya, mendorong seseorang untuk memperoleh kesejahteraan melalui kompetisi. Namun, jika tanpa aturan tegas, liberalisme sangat memungkinkan yang kuat bakal menggusur yang lemah. Selain itu, liberalisme mendorong konsumerisme, yang bila tak dikendalikan berbuah pemborosan dan melakukan segala cara untuk memperoleh barang yang diinginkan.
Terkait liberalisme, Chriswanto telah bertemu dengan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj beberapa waktu lalu. Keduanya sepakat untuk membendung pengaruh liberalisme dan fundamentalisme, di lingkungan ormas masing-masing, “Ormas-ormas Islam berhadapan dengan dua kutub persoalan, yakni liberalisme yang diantaranya mendorong kebebasan individu, sementara di sisi lain terdapat fundamentalisme yang membuat seseorang tidak toleran terhadap perbedaan,” ujarnya.
Chriswanto pun menegaskan komunisme, liberalisme, sosialisme, dan fundamentalisme bukanlah ideologi asli suku-suku di Indonesia. ”Ideologi-ideologi itu diimpor. Disinilah Pancasila dan rakyat Indonesia diuji,” tambahnya. Liberalisme bisa membuat seseorang tak peduli sehingga semangat gotong-royong meluntur. Sementara fundamentalisme mendorong lunturnya sikap toleransi, menghargai, dan menghormati keyakinan lainnya. Akibatnya, kedamaian dan ketenteraman bangsa bisa terusik.
Untuk itu, ia mengingatkan kembali peran ormas Islam untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan karakter bangsa, sebagaimana yang terdapat dalam butir-butir Pancasila, “Pancasila digagas para pendiri bangsa sebagai kompromi, jalan tengah, dan mengambil intisari dari berbagai ideologi. Bahkan, nilai-nilai luhur bangsa Indonesia terhimpun di dalamnya. Inilah yang membuat bangsa Indonesia terus bersatu,” ujar Chriswanto.

Menguatkan Pancasila
Lantas, bagaimana Pancasila bisa dikuatkan? Menurut Ketua DPP LDII Singgih Tri Sulistiyono yang juga Guru Besar Sejarah Universitas Diponegoro (Undip), Pancasila jangan hanya berhenti pada tataran verbal, tetapi juga diamalkan.
“Dalam kontruksi keindonesiaan, yang pertama adalah bahwa sila pertama dari Pancasila harus menjadi pondasi sekaligus mewarnai sila-sila yang lain. LDII juga berpendapat sila pertama tidak dijadikan bingkai, tetapi sebagai pondasi,” ujarnya.
Menurut Singgih, menempatkan sila pertama Pancasila sebagai bingkai atau wadah, sangat berisiko mendorong pihak-pihak yang memiliki ideologi tertentu, mengubah ideologi negara. Hal tersebut, bisa menjadi bibit konflik yang berkepanjangan karena kondisi bangsa dan negara yang plural, baik dari sisi agama maupun kepercayaan. “Maka agama harus ditempatkan sebagai fundamen bukan wadah,” ujar Singgih.
Bagi Singgih, yang patut untuk menjadi bingkai dari konstruksi keindonesiaan adalah sila Persatuan Indonesia, “Dengan demikian, rumusannya adalah apapun agama yang dipeluk (sesuai Sila Pertama), apapun aktualisasi kemanusiaan yang dilakukan (Sila kedua), bentuk demokrasi apapun yang dijalankan (Sila keempat) dan model keadilan yang dibayangkan (Sila kelima) tetap dalam bingkai persatuan Indonesia atau NKRI (Sila ketiga),” ulasnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jika sila pertama adalah pondasi, sila ketiga sebagai bingkai, sila kelima sebagai tujuan, maka sila kedua adalah aspek kemanusiaan, sila keempat mengenai demokrasi sebagai semangat dan cara mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Kelima sila tersebut tidak bisa dibeda-bedakan, namun saling melengkapi.
Bila disimpulkan, menurut Singgih, bangsa Indonesia akan rapuh tanpa Pancasila. Mengapa? Karena tidak punya pondasi religiusitas yang kuat sebagaimana sila pertama, dan bangsa Indonesia bercerai-berai karena tidak ada bingkai yang jelas seperti sila ketiga. Bangsa Indonesia juga kehilangan arah karena tidak punya tujuan yang jelas, sesuai sila kelima.
Bahkan tanpa Pancasila, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak beradab, karena tidak punya kemanusiaan, tidak memiliki gotong-royong, karena tidak ada sila kedua dan keempat. (kim/*)