Menjadi seorang mubaligh-mubalighah merupakan tugas yang mulia. Sebab, sebagai umat zaman akhir berani mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan itu tidak mudah, banyak menghadapi tantangan serta godaan.
Ungkapan itu disampaikan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta KH Munahar pada ratusan santri di Ponpes Al Ubaidah, Kertososno, Nganjuk, Selasa (1/3).
KH Munahar mengingatkan, mubaligh-mubalighah itu beragam pembawaannya, “Ada yang suka berdakwah dengan humor, tapi ada juga yang juga tidak bisa tertawa,” ujarnya. Tapi, seorang juru dakwah, harus menyampaikan selaras dengan kecerdasan umat, “Kalau umat yang dituju adalah petani, maka berdakwahlah melalui pertanian. Bila yang didakwahi teknokrat, maka juru dakwah harus bisa menjelaskan secara teknokrat,” ujarnya.
Ia membuat permisalan, juru dakwah bisa menjelaskan mobil dan pesawat bergerak karena mesin. Mesin dibuat manusia dari kecerdasan otak manusia, “Otak yang membuat Allah, jadi semua ini dari Allah,” ujarnya menjelaskan kepada para santri.
KH Munahar juga mengingatkan supaya berdakwah selalu disertai niat karena Allah, bukan karena uang atau harta, “Lihatlah juru dakwah yang berdakwah karena uang, dua tahun mereka menganggur karena pandemi Covid-19. Tak ada panggilan untuk berceramah,” ujarnya. Sebaliknya, mereka yang berceramah tidak karena uang, masih terus diundang dan rezekinya terus mengalir.
Dakwah, menurutnya harus dilakukan dengan lemah lembut dan berakhlak mulia, “Tirulah Nabi Muhammad, tidak mendendam bila disakiti, diam ketika dicaci,” ujarnya. Kesabaran tersebut penting, agar umat Islam merasa sejuk.
Dakwah juga sifatnya tidak memaksa, tapi mendidik. Ia menyontohkan ada seseorang yang ingin berislam tapi tak ingin meninggalkan judi, zina, dan mabuk, “Lalu apa kata Nabi, ya silakan tapi jangan bohong,” ujarnya berkisah. Lalu fulan itu, berpikir kalau dia berzina, berjudi, dan mabuk saat ditanya Nabi Muhammad tentu tak bisa berbohong.
Karena itu, ia malah tidak berzina, berjudi, dan mabuk-mabukkan, “Suatu hari Nabi bertanya, apakah kamu masih mabuk, zina, dan berjudi? Lelaki itu menjawab tidak Nabi,” ujarnya. Di sinilah dakwah, tidak memaksa tapi mendidik.
Kehadiran KH Munahar juga disambut baik oleh Pengasuh Ponpes Al Ubaidah, KH Ubaidillah Al Hasaniy, didampingi Ketua DPD LDII Nganjuk, Murkani dan para pengurus ponpes. Di depan para santri ponpes tersebut, KH Ubaidillah memberi kata sambutan. Menurutnya, KH Munahar adalah seorang kyai yang gemar silaturahim.
“Silaturahim memperbanyak rezeki dari Allah, dan Allah memanjangkan umur,” ujar Kyai yang biasa disapa Kyai Ubaid. Menurutnya, para santri yang ada di sini adalah para calon juru dakwah, yang bakal menjadi mubaligh-mubalighah.
Menurut Kyai Ubaid, dirinya tak merasa khawatir para santri bila masih berada di pesantren, “Mereka masih satu pemahaman dan satu cita-cita. Persoalannya bila mereka sudah terjun di tengah-tengah masyarakat, mereka akan banyak menghadapi tantangan,” papar Kyai Ubaid.
Ia mengkhawatirkan tapak kakinya beda, “Andaikan sama tapak kakinya tapi melangkahnya beda. Ada yang ke kanan ke kiri, ada yang ke depan, ada yang ke belakang, bahkan akhirnya kejeglong tidak terasa. Terperosok tidak terasa. Sekarang banyak ajaran sesat tapi sulit dideteksi, kelihatannya sama padahal tidak,” pungkas KH Ubaidillah.
Era media sosial, menurut KH Ubaid membuat pilar kebangsaan terancam radikalisme. Ia meminta KH Munahar untuk berceramah, memberikan wawasan agar para santri tetap istiqomah dalam berdakwah.
Menutup tausiyah Kyai Munahar, Kyai Ubaid menambahkan bahwa mempunyai angan, harapan dan cita-cita menjadi seorang dai-daiyah atau mubaligh-mubalighah itu sangat mulia, karena mendapat penghargaan langsung dari Rasulullah SAW seperti dalam sabdanya, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mencari ilmu dan mengajarkannya,” juga seperti sabda Nabi pula, “Sebaik-baik manusia adalah orang yang mampu memberi manfaat pada manusia lain.”