Pemerintah Indonesia kian giat melaksanakan program ketahanan pangan. Tujuan utamanya bisa mewujudkan kedaulatan pangan nasional serta mengekspor hasil pertanian, peternakan, dan perikanan. Pelaksanaannya bersinergi dengan para petani, peternak, nelayan, dan seluruh komponen masyarakat yang terkait.
Indonesia sebagai negara agraris merupakan titik sentral dunia dalam produk pangan. Saat ini, dunia dihadapkan pada tiga masalah besar yaitu FEW atau Food, Energy, and Water (red; pangan, energi, dan air). Negara-negara maju dan berkembang sedang berusaha keras untuk merebut dan mengembangkan ketiga faktor tersebut. Disinilah keterkaitannya dengan program ketahanan pangan nasional.
Selain kedaulatan pangan, pemerintah juga mempertimbangkan pangan alternatif bagi masyarakat. “Misalnya saja, bahan pangan mie yang terbuat dari gandum yang pada umumnya kurang cocok ditanam di Indonesia. Maka, timbul ide tiwul instan yang dijadikan produk unggulan berbahan dasar singkong, yang notabene dapat tumbuh subur di bumi pertiwi. Serta berbagai umbi-umbian yang dapat diolah menjadi produk pangan nasional. Ini yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini di Kementrian Pertanian,” papar Anggota DPR RI Komisi IV Ir. Mindo Sianipar dalam Sosialisasi Gerakan Menanam Tanaman Produktif di Nganjuk, Minggu (12/8).
Untuk memperlancar program tersebut, pemerintah memberikan bantuan kepada petani sejak pra-panen, pengolahan tanah, hingga pasca panen. Diantaranya bantuan traktor roda dua dan empat, mesin tanam, mesin panen, pengering padi, dan mesin penggilingan padi.
“Semuanya tetap bergantung pada kemampuan dan kemauan tiap-tiap kelompok tani demi optimalisasi hasil pertanian. Tidak cukup hanya dibebankan ke pemerintah, kalau tidak dikelola, dan tidak dirawat dengan baik akhirnya tidak bermanfaat bagi pertanian nasional,” pesan Mindo kepada petani di Nganjuk dan Mahasiswa LDII yang hadir saat itu.
Program ketahanan pangan, tambah Mindo Sianipar, harus konsisten dan berkelanjutan. Sebagai contoh pada jajaran Pengurus DPP LDII yaitu Ir. Prasteyo Sunaryo pada tahun 1977 telah membuat Lembaga Bantuan Teknologi bagi para petani. Inilah yang diharapkan mampu menjadi bukti nyata bagi gerakan mahasiswa yang peduli akan petani dan gerakan kedaulatan pangan nasional.
Kepala Desa Banggle yang ikut hadir memaparkan beberapa kendala pertanian di Nganjuk. Meskipun di Kabupaten Nganjuk telah memiliki berbagai sentra pertanian. Mulai dari tembakau, bawang merah, jagung, dan padi menjadi komoditas utama para petani. “Tentunya, hal ini juga terdapat beberapa kendala seperti kelangkaan air untuk irigasi di musim kemarau, akses jalan antar desa yang belum diperbaiki, dan jenis tanah yang lebih banyak pasirnya (red; kurang subur),“ paparnya saat sesi diskusi Gerakan Menanam Tanaman Produktif.
Peran serta mahasiswa dalam pertanian di Nganjuk dipaparkan oleh Koordinator Mahasiswa, Ridwan Abdul Aziz, S.Pd, mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul Ula (STAIM). Ia mengatakan bahwa mahasiswa STAIM telah melaksanakan Kuliah Pengabdian Masyarakat Terpadu (KPMT) selama satu bulan. Mahasiswa telah berhasil membuat program pendidikan berupa edukasi kepada para petani untuk pengembangan produk hasil olahan pertanian seperti ketela dan gadung untuk dipasarkan. Selain itu, juga ada permen dan kue dari bahan dasar tape yang akan diperdagangkan secara reguler maupun online.
Mahasiswa STAIM juga telah melaksanakan program penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dengan mengolah sampah organik dan kotoran ternak untuk diproses menjadi pupuk. Alhasil, semuanya telah diaplikasikan untuk pertanian di Desa Banggle, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Nganjuk.
Penulis : M. Fauzi Wibowo (Lines Jatim)