Penerbit Deepublish Yogyakarta menerbitkan penelitian Ust. Dr. Ahmad Ali MD, M.A, seorang dosen dan juga seorang Cendekiawan Muslim dan pakar Ushul Fikih, tentang nilai-nilai kebajikan yang ada dalam jamaah LDII. Peluncuran buku tersebut dihelat di Sadjoe Cafe & Resto, Jakarta Selatan, pada Senin (17/7).
“Kami tertarik menerbitkan buku penelitian mengenai LDII, karena sorotan kepada mereka sangat kotroversial. Di satu sisi kami memandang LDII memberikan kontribusi positif sebagai ormas terhadap pembinaan karakter warganya. Sementara di sisi lain, terdapat orang-orang yang mengaku disesatkan oleh LDII,” ujar CEO Deepublish, An Nuur Budi Utama.
Selain rasa penasarannya terhadap LDII yang menjadi latar belakang penerbitan buku itu, Budi memandang perlunya umat Islam memandang dengan jernih kontribusi ormas-ormas atau kelompok-kelompok Islam dalam bernegara, “Perbedaan itu selalu ada, dan tentu keyakinan dan penerjemahan manusia terhadap teks agama berbeda-beda. Di sinilah perlunya toleransi dan menghormati perbedaan,” tegas Budi.
Dalam bingkai civil society, keberadaban bangsa sangat ditentukan oleh sumbangsihnya terhadap kemanusiaan dan lebih lebar lagi, bagaimana ormas-ormas bergandengan tangan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberagaman ormas agama di Indonesia merupakan anugerah, yang bisa menjadi potensi besar untuk pembangunan nasional.
“Perbedaan keyakinan adalah persoalan persepsi. Tiap orang meyakini kebenaran dengan berbeda-beda pula. Maka, tidak bisa satu otoritas melabel sesat pihak lain. Kecuali, sudah mengingkari konsensus bersama seperti Pancasila bahkan melakukan tindakan yang melanggar hukum dan ketertiban masyarakat.
Budi mengajak semua pihak bersabar dalam menyikapi perbedaan. Kelas dominan yang memegang otoritas “kebenaran” pun harus memandang perbedaan tersebut sebagai hal yang natural, “Bila berbeda jangan dipaksakan untuk sama, bila sama jangan dibedakan. Inilah yang menjadi prinsip dalam toleransi beragama di Indonesia yang beragam suku, agama, dan rasnya,” imbuh Budi.
Ia pun menekankan, setiap kelompok-kelompok agama memiliki dogma tertentu yang hanya berlaku di dalam kelompoknya. Dogma itu biasanya ditekankan dalam acara yang sifatnya internal dan privat, “Menjadi persoalan ketika dogma yang sifatnya internal di-blow up ke ranah publik. Tentu, yang menyebarluaskan dogma dari ranah privat ke ranah publik memiliki maksud tertentu,” katanya.
Menurutnya, tentu saja dogma yang sifatnya privat itu menjadi sensasi atau kontroversi di tengah publik. Hal tersebut memicu keresahan bahkan pertikaian, hingga pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam beragama. Tentu, kita juga patut mempertanyakan pihak-pihak yang mendiskreditkan LDII, apa maksud dan tujuan mereka, “Memecah belah umat atau ada motif pribadi?,” tegas Budi.
Dalam pandangannya, warga LDII sebagaimana umat Islam lainnya yang santun dan ramah. Fokus mereka adalah pembinaan karakter generasi mudanya, “Generasi muda LDII tidak seperti layaknya generasi muda umumnya, yang berhura-hura atau terlibat kenakalan remaja. Ini menjadi salah satu nilai positif dari jamaah LDII,” ujar Budi.
Dalam buku berjudul “Nilai-Nilai Kebajikan dalam Jamaah LDII Dari Amal Saleh Hingga Kemandirian: Menggali dan Mengkreasikan Hikmah dalam Kehidupan”, Ustadz Ali mengirimkan pesan, LDII yang dilabel sesat oleh pihak-pihak tertentu memiliki nilai-nilai kebajikan yang sifatnya universal, dan membangun karakter yang khas bagi warganya.
Terkait LDII, Ustadz Ali dalam kata pengantar bukunya mengatakan bahwa kebencian seorang mukmin terhadap orang lain mengenai sesuatu yang dibawanya, tidaklah boleh menjadikannya menolak sesuatu hikmah ataupun kebaikan yang dibawa orang lain itu. Bahkan justru, ia hendaknya mengambil hikmah dan mengamalkannya (al-istifâdah wa-al-’amal bi-hâ) dari apapun wadah keluarnya hikmah dan melalui lisan siapa pun munculnya hikmah itu.
Ia menguraikan setidaknya 11 nilai positif dalam LDII, yakni (1) amal saleh; (2) kebersihan, kesucian, dan kerapian; (3) kedisiplinan; (4) solidaritas; (5) rukun, koordinasi, soliditas, dan kekompakan; (6) persaudaraan (ukhuwah); (7) meng-hormati tamu (ikrâm al-dhaif); (8) musyawarah; (9) kerja sama yang baik; (10) kepedulian sosial; dan (11) kemandirian.
Dalam internal LDII, nilai-nilai tersebut biasa disebut sebagai istilah atau sebutan Enam Tabiat Luhur yang selalu diserukan agar dipraktekkan oleh warga LDII.