Hari Selasa, 3 Juni 2014 yang lalu, dua pasangan capres-cawapres yang akan bertarung dalam pilpres Juli 2014 mendatang mengikuti deklarasi pemilu presiden berintegritas dan damai, di Hotel Bidakara Jakarta. Inti dari isi deklarasi tersebut adalah kesiapan kedua pasang capres-cawapres beserta seluruh komponen pendukungnya, untuk menciptakan suasana pemilu yang jujur, adil, damai, dan tentu saja, berintegritas. Setelah deklarasi, masing-masing pasangan juga mendapat kesempatan untuk memberikan sambutan mereka. Inti dari sambutan kedua pasangan juga sama, prinsipnya mereka siap untuk menghormati dan melaksanakan apapun hasil pemilu nanti. Dengan kata lain, semua siap menang dan siap kalah.
Alhamdulillah, kita telah mempunyai calon pemimpin yang siap menghormati hasil pemilu. Pemilu yang memakan biaya cukup besar dan semestinya harus jujur dan adil. Jika tidak, bisa menyisakan problematika berkepanjangan setelahnya, yang bersumber dari ketidaksiapan untuk kalah. Jadi, deklarasi semacam ini, lepas dari anggapan sekedar ucapan belaka yang belum tentu dilaksanakan, sangat penting artinya, minimal sebagai pengingat, atau titenan bagi masyarakat pada kedua pasang calon pemimpin bangsa, tentang bagaimana komitmen dan integritas capres-cawapres pilihan mereka. Jika komitmen awal (siap menang siap kalah) tidak bisa dipenuhi, bagaimana mungkin komitmen2 berikutnya(baca : janji2 politik) juga akan dilaksanakan? Masyarakat sudah cerdas dalam menilai. Nah, siap kalah sih, sudah biasa, bagaimana dengan siap menang?
Hanya siap kalah
Saya teringat tentang seorang anak yang merengek-rengek pada ibunya untuk dibelikan video game. Sang ibu tampak enggan untuk memenuhinya, karena khawatir dapat mengganggu belajar anaknya, yang akhirnya dapat berimbas keturunnya nilai raport. Namun, si anak tetap merengek tanpa henti di setiap kesempatan, sambil “berkampanye” tentang kesiapannya untuk tetap belajar, kesediaannya untuk tidak bermain game berlebihan, dan kesanggupannya untuk mempertahankan, bahkan meningkatkan prestasinya, setelah dibelikan video game yang ia idam2kan. Sang ibu pun akhirnya menyerah, dan membelikan permainan yang memang membuat ketagihan, bahkan untuk orang dewasa sekalipun itu. Si anak pun telah menang dalam “pertarungan” tersebut. Namun, ternyata yang dikhawatirkan sang ibu terjadi juga. Si anak seakan lupa dengan “janji2 politiknya” dan memainkan video game tersebutsecaraberlebihan, tanpa kenal waktu. Jelas, prestasinya pun menurun. Singkatnya, anak itu mungkin siap kalah (tidak dibelikan video game), namun jelas tidak siap menang. Si anak lupa bahwa kemenangannya mengandung konsekuensi baginya, untuk melaksanakan segala janji2nya.
Kisah berikutnya adalah seorang sarjana yang berkali-kali gagal dalam ujian CPNS. Bahkan, saking seringnya gagal, kadang2 tidak ada penyesalan ketika melihat namanya tidak tercantum dalam daftar peserta ujian yang lulus. Maka, dalam ujian tahun berikutnya pun, dia tidak memasang target berlebihan. Diterima ya syukur, tidak diterima ya tidak apa-apa. Dia sangat siap untuk kalah. Dan ternyata, kali ini nasib berpihak padanya, namanya termasuk dalam daftar peserta yang lulus. Dia pun senang bukan kepalang dan mengikuti proses selanjutnya dengan hati berbunga-bunga, hingga akhirnya resmi menjadi abdi pemerintah (dan juga abdi masyarakat tentunya). Namun, setelah beberapa tahun, kinerjanya mulai menurun. Komitmen dan kesemangatannya sangat jauh berkurang. Prinsip “mengabdi sepenuh hati” yang memang disyaratkan sebagai PNS, telah berubah menjadi “buat apa kerja keras? Toh dengan kerja santai dan ogah-ogahan, saya tetap digaji”. Tak heran, jika ada tugas-tugas tambahan di luar tupoksinya, dia mengeluh setengah mati, Walaupun sebenarnya dia mampu dan cukup waktu untuk menjalani. Sekali lagi terbukti, dia siap untuk kalah (gagal tes PNS), namun tidak siap untuk menang. Dia tidak menyadari bahwa kemenangannya di ujian seleksi PNS, mengandung konsekuensi untuk menjadi abdi masyarakat yang harus selalu siap melayani.
Siap menang, baru hebat
Menjadi Presiden dan wakil presiden adalah amanah yang sangat luar biasa. Sebagai pemuncak dari 240 juta masyarakat Indonesia, mereka berkewajiban membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Banyak tugas yang harus diselesaikan. Selain menyelesaikan problem-problem internal seperti menciptakan pemerintahan yang bersih dan efektif, pemberantasan korupsi, peningkatan kesejahtraan rakyat, dan masih banyak lagi, Presiden dan Wakil presiden juga berkewajiban membuat. Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang disegani di mata dunia. Sekali lagi, ini bukan tugas yang ringan. Artinya, siapapun yang menang dalam pemilu presiden yang akan datang, mempunyai pekerjaan rumah yang sungguh berat. Saat itulah, kesiapan untuk menang benar-benar diuji.
Kebanyakan orang menganggap siap kalah adalah sesuatu yang luar biasa. Namun, sebagaimana dua ilustrasi di atas, siap kalah saja tidaklah cukup. Siap kalah tak ada artinya jika tidak disertai dengan siap menang. Begitu pula dalam pemilu presiden mendatang. Menang pilpres mengandung konsekuensi siap untuk melaksanakan segala janji-janji politis yang ditaburkan saat kampanye, siap untuk tidak tergoda korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih, siap untuk berusaha keras meningkatkan kesejahteraan rakyat serta siap berkorban jiwa dan raga untuk masyarakat Indonesia. Tanggung jawab yang luar biasa. Banyak pejabat yang tersangkut urusan pidana, atau terpaksa berurusan dengan KPK, karena tidak siap untuk menang, Tidak siap untuk berkomitmen dengan janji-janjinya. Tidak siap dengan konsekuensi dari kemenangannya.
Kesimpulannya, siapapun pemenang dalam pilpres mendatang, hendaknya benar-benar siap kalah, dan lebih utama lagi, siap menang. Semoga calon-calon pemimpin kita adalah pribadi-pribadi yang seperti itu. Karena di tangan merekalah nasib bangsa Indonesia, setidaknya untuk lima tahun ke depan, akan ditentukan. Selamat menyambut dan mewujudkan pesta demokrasi yang damai dan berintegritas.