Masa muda adalah masanya para remaja, masa muda adalah masa yang berapi-api, demikian sebuah kutipan sebuah syair.
Masa muda adalah masa yang menyenangkan, sekaligus menjadi tonggak keberhasilan seseorang. Di masa inilah masa sempurnanya pertumbuhan fisik dan kekuatan seorang manusia. Hal ini merupakan nikmat yang sungguh berharga dari Allah SWT dan seyogyanya dimanfaatkan dengan sebaik-sebaiknya untuk amal kebaikan guna meraih ridha Allah. Namun, di masa ini pula gejolak syahwat juga sangat kuat pada diri manusia. Keinginan untuk berhura-hura, keinginan untuk mengumbar syahwat, mengikuti trend pergaulan, dan belum lagi godaan yang berasal dari syetan. Islam sangat memuliakan seorang pemuda yang berusaha mengekang hawa nafsunya untuk hal yang tidak berguna, dan sebaliknya berusaha mengarahkannya untuk totalitas mengabdikan diri kepada Allah.
Di sisi lain, kita mulai ditinggalkan ulama pendahulu kita, dengan wafatnya mereka. Karena sesungguhnya Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan”. (HR Bukhari)
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggengam ilmu dengan sekali pencabutan, mencabutnya dari para hamba-Nya. Namun Dia menggengam ilmu dengan mewafatkan para ulama. Sehingga, jika tidak disisakan seorang ulama, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. Maka mereka tersesat dan menyesatkan. (Riwayat Al Bukhari)
Dengan wafatnya para ulama maka proses belajar mengajar akan berhenti, sehingga tidak ada yang menggantikan ulama-ulama sebelumnya. Pada riwayat lain disebutkan bahwa seorang Badui bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Nabi Allah, bagaimana ilmu diangkat sedangkan ada pada kami mushaf-mushaf, dan kami telah belajar darinya apa yang ada di dalamnya dan kami mengajarkan istri-istri, anak-anak dan para pembantu kami?” Maka, Rasulullah SAW mendongakkan wajah dan beliau marah, lalu bersabda, “Ini orang-orang Yahudi dan Nasrani ada pada mereka lembaran-lembaran, mereka tidak mempelajari darinya mengenai apa yang datang kepada mereka dari para nabi mereka.”
Pada masa lalu, ilmu itu di dada (hati) para ulama, kemudian berpindah ke buku-buku, namun kuncinya masih di tangan para ulama. Sehingga, wafatnya seorang ulama pun merupakan suatu kehilangan besar bagi umat Islam.
Lalu bagaimana bagi peran para pemuda merespon semakin berkurangnya para ulama yang terjadi pada umat Islam? Tentunya para pemuda sebagai generasi penerus (generus) tidak boleh berpangku tangan. Pemuda harus tergerak hatinya dan berbuat yang terbaik untuk umat Islam.
Untuk mengantisipasi fenomena ini, hendaknya seorang pemuda berupaya untuk mengisi waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat untuknya dan menghindari waktu kosong, serta berusah mewujudkan diri sebagai insan yang bermanfaat bagi masyarakat dan agama.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh pemuda, antara lain adalah yang pertama, membiasakan dan berusaha senang untuk mencari ilmu. Ilmu merupakan fondasinya amal, sehingga tidak ada satu amalan pun yang dilakukan tanpa didasari dengan ilmu. Ilmu juga merupakan makanan pokok bagi jiwa, yang karenanya jiwa akan menjadi hidup dan jasad akan memiliki adab. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa pemuda merupakan pelopor tholabul ilmi (mencari ilmu), karena sejatinya kebutuhan seseorang terhadap ilmu lebih besar dari kebutuhannya terhadap makan dan minum. Dalam hal ini, hanya ilmu yang bermanfaat sajalah yang boleh untuk dicari dan dipelajari. Karena ilmu yang bermanfaat menempati kedudukan yang terpuji.
Kedua, pemuda supaya selalu berupaya untuk selalu menambah perbendaharaan mutiara nasihat dan petunjuk dari para ulama. Tidak dapat dipungkiri, para ulama terdahulu dan para ulama senior kita tentunya mempunyai ilmu yang lebih dahulu difahami dan dikuasai oleh beliau. Paling tidak, wawasan dan pengetahuan yang dimiliki lebih banyak dari kita, karena dari segi usia, beliau lebih senior daripada kita. Belajar kepada ulama senior dan berusaha mendapatkan wejangan dan tausiyahnya, bukan hanya akan mendapatkan khasanah baru dalam ilmu agama, melainkan akan memberi api semangat pada diri kita untuk selalu semangat dalam menetapi ibadah.
Ketiga, pemuda hendaknya memilih teman bergaul yang baik, karena hal ini sangat mempengaruhi akal, pikiran dan tingkah laku para pemuda. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seorang manusia akan mengikuti agama teman dekatnya, maka hendaknya salah seorang darimu melihat siapa yang dijadikan teman dekatnya. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda, “Perumpamaan teman duduk (bergaul) yang baik dan teman duduk (bergaul) yang buruk (adalah) seperti pembawa (penjual) minyak wangi dan peniup al-kiir (tempat menempa besi), maka penjual minyak wangi bisa jadi dia memberimu minyak wangi, atau kamu membeli (minyak wangi) darinya, atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang harum darinya. Sedangkan peniup al-kiir (tempat menempa besi) bisa jadi (apinya) akan membakar pakaianmu atau (minimal) kamu akan mencium aroma yang tidak sedap darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Penulis: Imam Pujiarto