Media sosial sebagai ruang publik memiliki sisi negatif sebagai alat penyebaran radikalisme, liberalisme, hedonisme, hingga berbagai perilaku menyimpang. Problematika ini mendorong DPP LDII menjadikan media sosial sebagai area dakwah bil haal. Para santri yang nantinya menjadi juru dakwah LDII diajak agar mampu mengunggah konten positif di media sosial dan menggunakannya secara bijak.
“Kami mendorong literasi media sosial di kalangan santri. Mereka memiliki modal ilmu, dengan beraktivitas di media sosial, mereka bisa menebarkan kebaikan secara lebih luas. Terutama generasi muda yang haus informasi,” papar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso di Jakarta, selasa (6/9).
Literasi media sosial menjadi penting, karena kompleksnya permasalahan yang dihadapi masyarakat tersebut. Ia memberi contoh perundungan atau bully, kerap menyasar seseorang di media sosial, “Akhirnya pem-bully-an itu meluas dari jagat maya ke jagat nyata. Belum lagi propaganda gaya hidup menyimpang seperti LGBT hingga persoalan agama yang menjadikan seseorang jadi sosok yang radikal,” keluhnya. Bahkan gaya hidup seks bebas juga menemukan ruang penyebaran di media sosial. Prostitusi saat ini justru marak di Twitter, baik terang-terangan maupun terselubung.
KH Chriswanto pun meminta para santri peka dan melanjutkan dakwahnya di media sosial. Menurutnya, perkembangan teknologi digital harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memasifkan pemberitaan atau informasi positif. Tujuannya, agar amar ma’ruf kian meluas di kalangan masyarakat, agar kehidupan mereka tidak hanya menuruti hawa nafsu lalu menabrak norma agama dan budaya, “Dengan memperbanyak sumber daya jurnalis dan para santri yang memiliki keterampilan bermedia sosial, mereka dapat mengedukasi umat dan berdakwah di media sosial,” ujarnya.
Para santri nantinya, menyiarkan kebaikan yang universal dengan memegang teguh prinsip jurnalisme positif. “Berita atau informasi yang dimuat, dalam koridor Pancasila, moralitas, nilai agama Islam, dan etika jurnalistik. Jangan sampai melanggar etika tersebut,” kata KH Chriswanto.
Setiap bulan, menurut KH Chriswanto ratusan pondok-pondok pesantren (Ponpes) di lingkungan LDII menghasilkan 800-1.000-an juru dakwah. Mereka disebar di pelosok-pelosok Indonesia untuk mengajar di majelis-majelis taklim LDII. Mereka sangat dekat dengan problematika umat, “Mereka bisa mengedukasi umat sekaligus berdakwah melalui media sosial,” tuturnya.
Senada dengan Ketua Umum DPP LDII, Ketua Ponpes Wali Barokah, Kediri, Jawa Timur KH Sunarto mengungkapkan, kontribusi LDII melalui delapan bidang pengabdian perlu diinformasikan dan dikomunikasikan ke masyarakat luas, “Kemas berita atau informasi dengan santun, dan hindari hal yang dapat menyinggung,” jelasnya.
Menurutnya, tak hanya warga LDII saja yang diharapkan dapat bijak di media sosial. Para santri, kini memiliki tugas berkontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan membantu pemerintah membentuk karakter bangsa yang pancasialis, “Hari-hari ini media sosial minim edukasi dan pembangunan karakter, namun riuh dengan hal-hal dangkal bahkan memecah persatuan dan kesatuan bangsa,” imbuh KH Sunarto.
Keprihatian KH Sunarto pengasuh ponpes utama yang bekerja sama dengan LDII dalam menghasilkan juru dakwah itu, diamini oleh koleganya Habib Ubaidillah Al Hasany, Ketua Ponpes Al Ubaidah, Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur, “Sebagai pesantren yang khusus untuk menguji para santri yang akan disebar ke berbagai pelosok tanah air, kami bertanggung jawab menjadikan santri sebagai penegak empat pilar kebangsaan,” kata Habib Ubaid.
Ponpes Al Ubaidah membekali para santri dengan pemahaman kebangsaan, menghadirkan pemateri dan Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Nganjuk, Koramil, dan Polres, “Setiap bulan kami mengundang mereka untuk memberi wawasan mengenai dakwah, wawasan kebangsaan, dan bela negara,” pungkasnya.
Menurut Habib Ubaid, elit politik yang menggunakan komunikasi politik populis menciptakan perpecahan yang mengkhawatirkan. Ia berpendapat, para ulama, tokoh agama, hingga santri harus aktif mendinginkan suasana, agar terus tercipta kerukunan, persatuan dan kesatuan bangsa.
“Santri harus mendapat edukasi bagaimana memilah dan memilih informasi agar tidak terpapar radikalisme dalam agama. Sebaliknya mereka juga dituntut memproduksi konten atau informasi yang positif, agar kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara menjadi sejuk. Itu menjadi modal dalam membangun dan menyejahterakan masyarakat,” tutur Habib Ubaid yang juga pengurus DPP LDII.