Kediri (13/6). Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Dr. KH. Marsudi Syuhud, MA memberikan tausiah kebangsaan secara daring dari Pondok Pesantren Wali Barokah Kediri.
Lebih dari 5.000 orang yang mengikuti tausiyah dari unsur ulama, perwakilan DPW dan DPD LDII, serta perwakilan dari MUI di provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia. Wakil Ketua Umum MUI Jawa Timur, Prof. DR. KH. Halim Soebahar, MA ikut hadir secara daring dari Jember.
Menurut Ketua DPW LDII Provinsi Jawa Timur KH. Moch. Amrodji Konawi kerjasama DPP LDII dengan MUI menggelar tausiah dan wawasan kebangsaan merupakan langkah yang tepat mengingat akhir-akhir ini terjadi degradasi kebangsaan di semua lini.
“Indikatornya yaitu terjadinya pertentangan antara nasionalisme dan agama. Hal ini akan terjadi krisis kebangsaan,” kata Amrodji.
Oleh karenanya, Amrodji menambahkan, tausiah tersebut disiarkan langsung melalui youtube dan website LDII sehingga dapat diikuti DPW dan DPD LDII di seluruh Indonesia, sekaligus mengundang MUI setempat.
“Dengan adanya wawasan kebangsaan dan bersatunya Ormas Islam diantaranya Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, LDII, maka NKRI menjadi kokoh dan nilai-nilai kebangsaan akan tertanam pada generasi muda,” tambahnya.
Sementara itu, Pimpinan Pondok Pesantren Wali Barokah, Drs. KH. Soenarto, M.Si. juga menilai pentingnya tausiah tersebut. “Tausiyah kebangsaan ini penting dalam kondisi keumatan yang menghadapi masalah yang kompleks dan multidimensi, kami membutuhkan pencerahan,” ujar Pimpinan Pondok Pesantren Wali Barokah, Drs. KH. Soenarto, M.Si.
Soenarto menambahkan, sebagai pondok pesantren yang diamanati DPP LDII untuk menghasilkan juru dakwah, posisi Pondok Pesantren Wali Barokah sangat strategis, “Maka para juru dakwah itu perlu dibekali ilmu agama yang kaffah, dan wawasan kebangsaan yang kuat dan mantap,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, KH. Marsudi Syuhud didampingi Wakil Sekjen DP MUI Arif Fahrudin M.Ag, Ketua Komisi Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan DP MUI Prof. Dr. H. Firdaus Syam, M.A, dan Sekretaris Dr. Ali Abdillah.
Ketua Umum DPP LDII Ir. KH. Chriswanto Santoso, M.Sc dalam sambutannya memaparkan pentingnya menjalin silaturahim. Dengan silaturrahim, para tokoh agama bisa turut memikirkan bangsa dan negara sebagai kontribusi untuk menjadikan Indonesia negeri yang makmur penuh rahmat dari Allah.
“Tausiyah ini jadi penting untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah, agar ukhuwah wathoniyah juga kuat, dan ketiga ukhuwah basariyah terjaga. Para pendiri bangsa mendirikan negeri ini atas perbedaan yang tak bisa dihindari, dan para ulama menjadi motor penggerak perjuangan. Dari perbedaan itu, justru kita menyatu,” tegas Chriswanto Santoso.
Chriswanto menambahkan, teknologi digital termasuk internet mempermudah lalu-lalang informasi. Sebaliknya, teknologi juga mempermudah fitnah menyebar. Ia pun mengingatkan bahwa para pendiri LDII bertujuan memberikan kontribusi kepada umat, bangsa dan negara secara positif.
“Kami memiliki delapan program kerja yang diselaraskan dengan program nasional, agar menjadi solusi. LDII harus mendukung bangsa dan negara dan memberi solusi terutama masalah kebangsaan. Bila Indonesia goyang, LDII turut ikut sempoyongan,” ujar Chriswanto.
Dalam tausiyahnya, Wakil Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud menekankan pentingnya keterhubungan antar manusia, “Antarmanusia terhubung rohani, pikiran, amaliyah dan berbagai hal lainnya. Ketika semuanya nyambung, keberkahan itu hadir,” ujarnya. Keterhubungan itu, menurutnya sudah dicontohkan Rasulullah SAW dalam membangun negara kecil bernama Madinah, yang tertuang dalam Piagam Madinah.
Dalam pandangannya, Rasulullah mendirikan negeri Madinah sebagai negara untuk menyambung, mengikat masyarakat di dalamnya untuk hidup bersama meskipun tidak satu agama, “Islamnya saja ada golongan Muhajirin ada Ansor, ada Yahudi, Nasrani, dan Majusi yang bukan agama Samawi. Dari beragam agama itu diikat untuk menyatukan perbedaan,” imbuhnya.
Rasulullah sebagai penyatu perbedaan memiliki kemampuan yang mumpuni sebagai hakim, jenderal ketika perang, hingga mengurus ketertiban, “Bahkan Rasulullah sampai mengurusi akhlak,” ujarnya.
Saat Turki Utsmani runtuh, negara-negara memisahkan diri dan para tokohnya bermusyawarah dan berijtihad mengenai negara mereka, “Pada 1936 Nahdlatul Ulama dalam Muktamar 1936 sudah membahas bentuk negara Indonesia. Berangkat dari musyawarah itulah lahirlah dasar negara,” ujarnya. Kemudian, Pancasila ditetapkan menjadi dasar negara atas musyawarah.
“Jadi bila ada yang bertanya pilih Alquran atau Pancasila, itu sama halnya menanyakan bumbu pecel tumpang atau pecel tumpang, bakso atau buletan bakso,” ujarnya. Artinya, Pancasila itu terdapat dalam Alquran. Maka tugas pemerintah adalah menyambungkan hukum yang tetap berupa Alquran dan Sunnah ke dalam aturan-aturan, demi kemaslahatan umat.
“Alquran dan Sunnah itu hukum yang tetap, sementara masalah terus tumbuh dan berkembang, maka pemerintah tinggal membuat aturan untuk kemaslahatan. Lampu lalu lintas tidak ada dalam Alquran dan Alhadits, namun karena maslahat untuk umat manusia, maka itu sudah memenuhi aturan yang syariah,” ujarnya.
Ia memisalkan lagi, mengenai wabah Covid-19. “Rasulullah menyuruh kita waspada dan lari sebagaimana waspada terhadap singa. Maka aturan turunannya ya lockdown dan bansos. Negeri ini tentu ada kekurangannya, maka kekurangannya yang diperbaiki bukan membubarkan negerinya,” ujarnya.
Ia menekankan, konteks hubungan negara dan agama terdapat dalam tiga hal. Pertama, negara harus mampu membuat hubungan antara hukum tetap (Alquran dan Alhadist) dengan produk undang-undang yang dihasilkan negara, “Aturan yang dibuat negara harus bermanfaat dan mengurangi kemaksiatan atau kekacauan,” ujarnya.
Kedua, bernegara itu harus bisa menyatukan maslahat umum dan individu, “Contohnya pajak, hasil pajak bermanfaat untuk kepentingan umum. Namun adakalanya masyarakat dalam kondisi tak mampu bayar pajak, maka aturannya diubah bisa afirmasi atau tax holiday,” pungkasnya.
Dan yang ketiga, menyatukan atau merukunkan kepentingan materi dan rohani, “Saat negara memperbolehkan salat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya bahkan mengurusinya maka sudah syariah. Meskipun bakal ada tabrakan antara syariah dan maksiat, misalnya ada korupsi bantuan sosial, maka korupsinya dibasmi bukan bantuan sosialnya yang dihilangkan,” ujarnya.
Ia mengingatkan, negara yang didasari musyawarah, maka hukumnya wajib menjaga kesepakatan atau produk musyarawah tersebut. Apa yang kurang dari negeri ini, ia berpesan untuk diperbaiki bersama, “Bukan negaranya yang dirobohkan,” tegasnya. Ia juga meminta semua bersyukur atas rahmat Allah kepada Indonesia, yang aman dan tenteram.
Marsudi kemudian berpesan “Lebih baik menjadi orang miskin di negeri yang kuat dan kaya, ketimbang menjadi orang kaya di negeri yang barbar, penuh ancaman, dan ketidakpastian,” pungkasnya.